Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan pandemi Covid-19 yang menghancurkan banyak perekonomian keluarga menjadi faktor utama mengapa banyak orang terjebak pada judi online.
Judi online, kata Devie, seakan memberikan ‘jalan alternatif’ kepada masyarakat yang ingin mendapatkan tambahan pendapatan.
Faktor berikutnya adalah kejenuhan.
Ketika aturan pemerintah terkait Covid diberlakukan banyak orang merasa terkurung di rumah dan akhirnya bosan.
Judi online yang dibalut seperti permainan gim biasa, menggoda orang-orang untuk mencoba karena bisa diakses kapan pun dan di mana pun.
“Manusia itu pada prinsipnya pemain gim. Menariknya judi online daya pikatnya lewat permainan. Ini yang kemudian mendorong orang tanpa disadari terperangkap dalam judi online. Ujungnya mereka sudah kecanduan.”
“Judi online menciptakan keseruan, membuat orang tertantang, termotivasi, dan penasaran.”
Hal lain yakni, orang tak perlu keluar banyak uang untuk mencoba peruntungan judi online.
Hanya dengan uang puluhan ribu rupiah memungkinkan mereka mendapat puluhan juta.Siaran99
“Itu kan sangat menggoda sehingga secara psikologi tidak merasa menghabiskan yang besar untuk judi online. “
Oleh karena itu, menurut Devie, tak ada seorang pun yang imun dari potensi jebakan judi online. Entah itu berasal dari kelompok ekonomi maupun pendidikan bawah atau tinggi.
Apa yang dilakukan pemerintah?
Di Indonesia aktivitas perjudian dilarang oleh pemerintah karena dianggap merugikan masyarakat dan melanggar norma agama.
Khusus judi online, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjerat para pelaku maupun orang yang mendistribusikan muatan perjudian dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjelaskan sejak 2018 hingga 10 Mei 2022 pihaknya telah memutus akses 499.645 konten perjudian di pelbagai platform digital.
Kendati jumlah situs atau aplikasi perjudian online yang beredar secara daring berpotensi lebih banyak dari hasil patroli siber, kata Juru bicara Kominfo, Dedy Permadi.
Pemberantasan judi online di Indonesia, sambungnya, cukup berat lantaran situs atau aplikasi judi online terus bermunculan dengan nama yang berbeda, meski aksesnya telah diputus.
Izinkan konten Twitter?
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.Terima dan lanjutkan
Peringatan: Konten pihak ketiga mungkin berisi iklan
Lompati Twitter pesan
“Selain itu kegiatan perjudian yang dilegalkan di beberapa negara di luar Indonesia, mengakibatkan kendala penindakan hukum lintas negara. Itu menjadi tantangan tersendiri karena adanya perbedaan ketentuan hukum terkait perjudian.”
Akan tetapi pengamat sosial, Devie Rahmawati, menilai judi online merupakan persoalan serius yang harus menjadi perhatian pemerintah.
Sebab dalam tahapan tertentu orang-orang yang tak bisa menghentikan kebiasaan bermain judi online hingga bertindak merugikan orang lain bisa diketagorikan sebagai ‘kecanduan’ dan butuh penanganan lebih dari sekadar hukum.
“Kalau Anda kecanduan miras atau narkoba, cara untuk lepas dengan memisahkan benda itu dari diri Anda.”
“Tapi bagaimana kalau barang itu ada di dalam kepala Anda? Susah sekali untuk menghilangkan image itu dari kepala agar terlepas dari kecanduan.”
“Di situ orang suka salah berasumsi bahwa judi online tidak berbahaya.”
“Padahal ini krusial karena menempel di benak Anda.”
Devie mencontohkan kasus kriminal yang melibatkan pemuda di Situbondo mencuri sapi milik orangtuanya karena terlilit utang akibat judi online.
Atau kasus seorang petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Kelurahan Mangga Dua Selatan, Jakarta, yang membuat laporan palsu menjadi korban begal ke polisi karena takut dimarahi istrinya lantaran uang THR sebesar Rp4,4 juta dipakai untuk judi online.
Dua kasus itu, kata Devie, merupakan contoh kecanduan judi online yang berujung pada perbuatan kriminal.
Di negara maju seperti Eropa, kata Devie, pemerintah setempat menyediakan bantuan psikolog bagi pecandu judi online atau gim online.
Itu mengapa ia menilai menutup situs atau memblokir aplikasi judi online, tidak akan berhasil. Jika tidak ada peran individu dan keluarga.
“Ketika pemerintah menyegel tempat judi, mereka akan beroperasi secara online. Orang pun tidak ragu ‘berinvestasi’ di sana. Jadi pilihan bermain atau tidak, tetap ada di tangan individu.”
Sementara itu Kominfo mengimbau masyarakat untuk menggunakan platform digital dengan bijak, baik untuk tujuan hiburan, transaksi ekonomi, dan kegiatan yang produktif.
“Kami mengajak masyarakat untuk dapat melaporkan penemuan konten terkait perjudian di ruang digital melalui kanal-kanal aduan yang tersedia.”